- Apa yang terjadi dengan Liga Super Cina? Mari kita lihat lebih dekat lewat artikel Skor Special berikut ini.
(Skor Special adalah artikel yang akan memberikan perspektif berbeda setelah Skorer membacanya dan artikel ini bisa ditemukan dengan mencari #Skor Special atau masuk ke navigasi Skor Special pada homepage .).
Sebelum kini Liga Arab Saudi jadi perbincangan dunia, Liga Super Cina sudah pernah lebih dulu melakukan hal yang sama.
Dengan kekuatan uang yang nampaknya tak terbatas, Liga Super Cina merekrut banyak nama-nama besar dunia, mengancam keberlangsungan liga-liga top Eropa.
"Pasar Cina adalah ancaman untuk semua tim di dunia, tak hanya untuk Chelsea," ujar Antonio Conte saat masih melatih Chelsea dan harus kehilangan pemain andalannya, Oscar, yang menuju Liga Super Cina.
"Cina tampaknya punya kekuatan finansial untuk memindahkan seluruh liga-liga Eropa ke Cina," ujar Arsene Wenger yang saat itu masih melatih Arsenal.
Akan tetapi, ternyata ancaman dan kejutan ini tak berlangsung lama. Bahkan kini, tak sampai satu dekade setelahnya, Liga Super Cina seperti sudah tak terdengar lagi gaungnya.
Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?
Mimpi Besar Cina
Semua berawal dari keinginan Presiden Cina, Xi Jinping. Pada tahun 2011, ia menginginkan Cina jadi negara adidaya soal sepak bola.
Xi juga ingin Cina kembali lolos ke Piala Dunia yang kali terakhir dan satu-satunya bisa mereka lakukan pada edisi 2002, selain juga setelah itu berharap bisa menjadi tuan rumah.
Ini bukan langkah aneh, untuk berinvestasi dan berharap olahraga bisa menjadi acuan dominasi satu negara atas negara lain, hal yang diharapkan Cina untuk bisa mendominasi negara-negara Barat lewat olahraga.
Presiden Xi bahkan sudah punya beberapa program tahapan untuk membuat mimpi ini jadi nyata.
Salah satunya, sepak bola menjadi salah satu fokus di sistem sekolah di Cina, selain juga mengembangkan Liga Super Cina dengan mengucurkan dana tak sedikit.
Dana ini juga yang kemudian menarik banyak bintang-bintang dunia untuk hijrah ke Timur jauh, bergabung dengan Liga Super Cina yang mulai naik daun.
Bertabur Bintang
Juni 2016, ratusan fans berkumpul di bandara Shanghai untuk menyambut salah satu bintang sepak bola dunia, Hulk.
Saat itu berusia 29 tahun, Hulk yang merupakan pemain Timnas Brasil direkrut Shanghai SIPG yang dilatih Sven-Goran Eriksson, mantan pelatih Timnas Inggris.
Buket bunga dan juga syal yang ia terima di bandara saat itu tak ada apa-apanya dengan nominal digital yang ditransfer ke rekeningnya setiap menerima gaji.
Hulk adalah yang pertama, tetapi ia jelas bukan yang terakhir. Dalam tiga tahun berikutnya, tak sedikit nama-nama besar dunia yang juga bergabung ke Liga Super Cina.
Oscar datang enam bulan setelahnya dari Chelsea, transfer yang mengejutkan dunia karena Oscar datang saat ia masih dalam usia prima dan bermain di liga top Eropa.
Dengan dana transfer 54-60 juta pounds, Oscar juga masih tercatat sebagai pembelian termahal di Liga Super Cina hingga sekarang.
Setelah itu ada Carlos Tevez yang menerima gaji tertinggi di dunia, Ezequiel Lavezzi, Alex Teixeira, Jackson Martinez, Paulinho, Cadric Bakambu, Yannick Carrasco, Ramires, Marko Arnautovic, Mousa Dembele, hingga Maruone Fellaini menjadi beberapa nama besar yang ikut serta hijrah ke Cina.
Tak hanya soal kantong tebal, menjadi pemain-pemain pertama yang membangun sebuah liga baru agar jadi salah satu yang terbesar di dunia menjadi tantangan menarik tersendiri bagi para pemain.
Dengan kedatangan mereka, harapan Presiden Xi untuk membuat Cina jadi negara adidaya sepak bola tampaknya semakin mendekati jadi kenyataan, tetapi...
Masalah Muncul
Kedatangan banyak bintang dunia sepertinya tak membuat kualitas Liga Super Cina meningkat.
Oscar mengatakan saat itu ia berencana kembali bermain di Eropa setelah dua atau tiga tahun bermain di Cina, dan ia tak sendiri. Menunjukkan bagaimana para pemain juga tak begitu antusias bermain di sini.
Puncaknya adalah apa yang dikatakan oleh Carlos Tevez, hal yang membuat seluruh Cina marah sekaligus malu.
Padahal, Tevez di Shanghai Shenhua menerima gaji tertinggi di dunia saat itu, mencetak empat gol dalam 20 penampilan, tetapi ia mengatakan waktunya di Cina adalah hanya sedang liburan.
"Saya liburan selama tujuh bulan di Cina," ujar Tevez.
"Tak masalah pelatih Shanghai dan Presiden Cina mengkritisi saya, saya bahkan tak tahu apa yang saya lakukan di sana."
Selain tak menambah kualitas liga, kedatangan para pemain asing ini justru dianggap menghambat perkembangan pemain muda Cina.
Padahal, salah satu harapan Presiden Xi adalah Timnas Cina kembali bermain di Piala Dunia, hal yang tak bisa mereka lakukan jika kualitas pemain dalam negeri tak meningkat.
Hal ini memaksa Federasi Sepak Bola Cina (CFA) saat itu membuat aturan ketat yang membatasi jumlah pemain asing di sebuah klub, maksimal hanya ada tiga pemain asing di 18 pemain skuad matchday, dan minimal dua pemain Cina di bawah 23 tahun.
Setelah itu jumlah pemain asing sempat dikurangi dari maksimal lima per tim menjadi empat, selain juga maksimal pemain asing yang turun berlaga tak boleh lebih dari jumlah pemain Cina berusia kurang dari 23 tahun yang bermain di laga yang sama.
Tak hanya itu, ada aturan keuangan juga yang diberlakukan dengan klub yang belanja pemain asing lebih dari lima juta pounds membayar uang sekian ke CFA.
Selain itu, CFA juga memberlakukan salary cap alias batasan gaji untuk setiap tim, agar tak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk gaji pemain.
Aturan-aturan ini muaranya jelas, agar pemain Cina bisa berkembang, demi Timnas Cina yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah Cina juga memang sudah lama ingin mengontrol pengeluaran klub yang terlalu banyak menghamburkan uang untuk mendatangkan pemain kelas dunia.
Efek domino mengikuti. Makin ke sini semakin sedikit pemain berkelas dunia yang hijrah ke Liga Super Cina, membuat jumlah penonton menurun, pemasukan dari iklan semakin sedikit, membuat klub justru kesulitan mendapat pemasukan.
Selain itu, harga tiket pertandingan di Cina memang tak begitu mahal, ditambah fans lebih banyak membeli asesoris dan jersi klub tak resmi karena lebih murah, semakin membuat keuangan klub punya rapor merah.
Apalagi CFA juga kemudian melarang sponsor besar untuk mengganti nama klub dengan nama sang sponsor, hal yang dulu biasa terjadi di Cina, membuat sponsor berpikir dua kali untuk masuk ke Liga Super Cina.
Banyak klub yang semakin terjatuh dalam masalah keuangan saat sang pemilik klub juga memiliki masalah keuangan, karena hancurnya pasar real estate di Cina. Membuat semakin sedikit uang yang bisa diberikan sang pemilik untuk keberlangsungan hidup klub itu sendiri.
Puncaknya, pandemi melanda.
Liga Super Cina yang sebelumnya sudah mulai berjalan dengan pincang, kini seperti sudah tak memiliki dua kaki untuk berjalan.
Kini, Cina
Rentetan masalah-masalah di atas membuat tak sedikit klub-klub Liga Super Cina yang gulung tikar.
Jiangsu Suning, Hebei, Guangzhou City, Wuhan Yangtze River, Qingdao, dan Chongqing Liangjiang Athletic jadi beberapa tim yang gulung tikar, padahal beberapa musim sebelumnya mereka sempat terlihat punya uang yang tak terbatas.
Jiangsu Suning misalnya, pada 2019 mereka berencana merekrut Gareth Bale dari Real Madrid, dengan kontrak mencapai satu juta pounds per pekan selama tiga tahun.
Akan tetapi, tak sampai dua tahun setelahnya, Jiangsu Suning kesulitan finansial dan harus gulung tikar, bahkan harus menjual bus tim untuk mencari dana tambahan.
Teranyar, awal musim ini Dalian Pro dan Shenzhen harus dibubarkan karena alasan serupa, setelah keduanya menjadi dua tim yang terdegradasi dari Liga Super Cina.
Musim ini, Liga Super Cina diikuti oleh 16 tim, dengan maksimal setiap tim memiliki lima pemain asing.
Shanghai Port adalah sang juara bertahan, dengan tampaknya akan jadi juara lagi musim ini, masih mengandalkan Oscar sebagai kapten mereka, juga bintang besar Timnas Cina, Wu Lei, sebagai striker utama.
Per 19 September 2024, mereka ada di peringkat 94 dunia di Ranking FIFA.
Mereka belum bisa tampil kembali di Piala Dunia sejak inisiatif yang dilakukan Liga Super Cina hampir sedekade lalu.
Begitupun di Piala Asia, mereka hanya sampai perempat final di edisi 2019 dan tersingkir di babak grup pada Piala Asia 2023 lalu.
Di kawasan Asia Timur, Cina juga masih stabil hanya meraih posisi ketiga di Piala Asia Timur edisi 2017, 2019, dan 2022.
Regenerasi juga tampaknya tak berjalan begitu mulus.
Dari 24 pemain terbaru yang dipanggil ke Timnas Cina, 13 di antaranya berusia 29 tahun atau lebih, dan hanya empat pemain yang berusia 23 tahun atau lebih muda.
Apakah Presiden Xi harus lebih lama menunggu mimpinya agar Timnas Cina tampil di Piala Dunia bisa terwujud?
Terkini Lainnya
Termasuk Donald Trump, Inilah 6 Presiden AS yang Juga Atlet American Football
DANA Kembali Gelar Turnamen Mobile Legends Sambut 11.11
Seberapa Besar Pengaruh Donald Trump dalam Olahraga di AS
PMGC 2024: Alter Ego Gagal Masuk 10 Besar di Hari Pertama League Stage Grup Red
Direkrut Sauber, Gabriel Bortoleto Pastikan Brasil Punya Wakil di F1 2025
Gelar Runvestasi, BCA Ajak Masyarakat Seimbangkan Kesehatan Finansial Sambil Olahraga
Main Penuh, Asnawi Mangkualam Bawa Port FC Menang di Cina
Update Livoli Divisi Utama 2024: Jadwal, Hasil, dan Klasemen
Perubahan Strategi Jadi Penentu Kemenangan Telak Persija atas Madura United
Jules Kounde, Mesin Barcelona dalam Menciptakan Peluang Gol